Nastiti Doktor Termuda Unair Berusia 26 Tahun yang Raih IPK 4,00

Nastiti, Doktor Termuda Unair Berusia 26 Tahun

ANGKASABOLA, Nastiti Doktor Termuda – Nastiti Intan Permata Sari bakalan jadi doktor termuda yang diwisuda Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada 6 September 2019. Di umur yangmasih sangat muda 26 tahun. Nastiti sukses menyelesaikan program doktor bidang Ilmu Kedokteran dengan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna 4,00.

Setelah diwisuda nanti, otomatis gelar yang disandang Nastiti menjadi Dr. Nastiti Intan Permata Sari, S.Si, M.Ked.Trop (Magister Kedokteran Tropis).

Nastiti bercerita, dia tercatat menjadi mahasiswa S1 Unair semenjak tahun 2011. AGEN BOLA

Saat tersebut dia meengambil jurusan Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi dan menuntaskan masa studi sekitar 3,5 tahun dengan IPK 3,35.

Setelah lulus S1, Nastiti melanjutkan program S2 dan S3 melewati jalur beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor Sarjana Unggul (PMDSU) yang diserahkan Kemenristekdikti. “Jadi peserta PMDSU tersebut harus menuntaskan S2 dan S3 dalam masa-masa empat tahun. Saya mulai S2 tahun Agustus 2015, alhamdulillah berlalu S3 tepat masa-masa Agustus 2019,” kata Nastiti pada Basra (20/8). TARUHAN BOLA

Sejak menempuh edukasi S2 Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Unair, Nastiti sudah menciptakan* rencana rise* tentang penyakit tuberkulosis atau TB. Kata Nastiti, Indonesia ketika ini menjadi negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ketiga di dunia.

Bahkan menurut keterangan dari data badan kesehatan dunia (WHO), masing-masing 30 detik satu orang tertular TB dan rata-rata 13 orang meninggal masing-masing satu jam.

BACA JUGA : Roller Coaster Tak Berhenti Meluncur, Empat Anak Jadi Korban

“Permasalahan yang dihadapi pasien TB ketika ini ialah* bakteri-bakteri pembawa penyakit TB kian kebal dengan obat-obatan yang direkomendasikan. Pasien TB juga tidak sedikit yang tidak diketahui jenis strain (koloni) bakterinya, jadi pemberian obat tidak efektif. ” kata gadis asal Madiun, Jawa Timur, ini.

Nastiti Doktor Termuda

Melalui disertasinya yang berjudul ‘MultiplexPCRGen 16S rRNA, rv0577, RD9, mtbk_20680, lineage1-6 dan Profil GenootipeGen rpoBpada Identifikasi Spesies, Strain, dan Resistensi RifampisinisolatMycobacteriumTuberculosisPasien Tuberkulosis Parudi Pulau Jawa’, Nastiti mengejar mycobacteriumBeijing strainsbanyak tersebar pada pasien TB di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

“Penelitian ini memungut sampel di tiga sentral, di Jawa Timur data dipungut di RSUD Dr Soetomo dan Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Surabaya, di Jawa Tengah berkolaborasi* dengan RSU Karyadi dan BLK Semarang, di Jabar berkolaborasi dengan RSCM FKUI,” kata Nastiti yang lulus doktor pada 1 Agustus 2019 ini.

KUNJUNGI LINK JUDI TERPERCAYA AGEN TARUHAN BOLA

MycobacteriumBeijing strainsini dirasakan sebagai penyebab terjadinya resistensi obat di kalangan pasien TB. Apabila bakteri TB semakin kebal dengan empat jenis obat yang direkomendasikan yakni rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol, maka penyembuhan untuk TB resisten akan dilangsungkan lebih lama dan membutuhkan obat yang lebih mahal.

“Belum lagi efek obat TB yang rata-rata buat mual, pusing, dan muntah, ini jelas efek yang berat guna mereka. Karena tersebut kalau obatnya tidak bekerja efektif, kasihan sekali pasien sudah menikmati efek yang laksana itu,” kata Nastiti.

Karena itu, urgen untuk memahami secara akurat strainsbakteri yang mengakibatkan TB. Setelah diketahui sifat dari strainsbakterinya baru dapat ditentukan jenis obatnya. Bukan tidak barangkali koloni bakteri ini bermutasi dan punya sifat-sifat baru yang kesudahannya kebal terhadap obat.

Nastiti Doktor Termuda

Dalam riset tuberkulosis ini, Nastiti dituntun langsung oleh profesor ternama dari Unair, UGM, Kyoto University Jepang, serta NARA Institute Science and Technology Jepang. Di antaranya terdapat* Prof Dr Ni Made Mertaniasih, dr., MS., Sp.MK (K), spesialis mikrobiologi klinik Unair dan Dr Soedarsono dr., Sp.P (K) dari Unair. Sedangkan dari UGM terdapat* Prof. Dr. Wayan T. Artama.

Pada 2017, Nastiti sempat menganalisis* metode molekuler guna* identifikasi bakteri penyebab Tuberkulosis paru di Kyoto University, Jepang. Kemudian di tahun selanjutnya ia pulang* ke Jepang guna* melanjutkan riset* disertasinya di NARA Institute of Science and Technology bareng* Prof. Hirotada Mori.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *